Senin, 19 Januari 2009

REVITALISASI KITAB KUNING

Oleh: Fahrur Rozi, S.Ag.*


Pergumulan Islam dan perubah­an sosial, pada satu sisi menuntut seorang santri harus menjadi seorang muslim militan yang membela kebenaran agama, akan tetapi di sisi lain dia juga dituntut untuk meres­pon dengan cepat arus perubahan zaman kemajuan informasi tehnologi yang terjadi di semua ranah kehidupan, baik sosial, budaya, politik maupun ekonomi.
Kebenaran yang diperjuangkan haruslah mempunyai pijakan yang kuat, kokoh, maton. Dalam hal ini kaum Pesantren selalu menggunakan logika yang agak berliku-liku pada diktum-diktum masa lalu dalam memecahkan persoalan kekinian. Kata orang: “Gak iso cak-cek tapi nak-nuk”. Dinamika pemikiran santri biasanya menggunakan logika ulama’ masa lampau sebagai rujukan -yang dalam praktiknya- menjadi baku jika tidak mau dikatakan harga mati, sesuatu yang tidak berubah, sehingga bila ia memberikan pembenaran atas kondisi politik maupun sosial dewasa ini, bukan didasarkan dalam konteks kontemporer, melainkan atas rujukan premis-premis para ulama yang dirumuskan pada abad pertengahan.
Sejalan dengan maraknya modernisasi, kitab kuning dikatakan sebagai tidak sistematis, kuno, kolot. Bahkan ada yang berusaha mendegradasi kitab kuning melalui survei yang dilakukan sebuah institusi pendidikan Islam bahwa kitab kuning menjadi sumber teroris.
Pertanyaannya kemudian adalah, benarkah kitab kuning sebagai buah pemikiran para salafus sholih (ulama dulu yang kredibel) sudah menjadi karya yang out of date, kuno, kolot dan tidak sistematis? Atau bahkan menjadi sumber inspirasi para teroris?
Gencarnya propaganda modernisasi itu tidak membuat pesantren menafikan kitab kuning, yang merupakan khazanah intelektual (al-Turatsul Islamiyah) mereka yang belum tertandingi.
Dalam lima tahun terakhir ini dengan menjamurnya industri radio bergelombang FM dibarengi dengan kembalinya animo masyarakat mendengarkan radio setelah bosan dengan acara-acara monoton TV, pengajian (balah) kitab kuning ala pesantren Jawa menjadi salah satu acara paling favorit yang digemari pendengar radio. Sebagai contoh Pengajian Tasawuf kitab Syarh Al-Hikam karya Ibnu Atho’illah yang diasuh oleh KH. Imron Jamil dari Jombang diputar lebih dari lima stasiun radio yang bermarkas di Kabupaten Bojonegoro dan sekitarnya. (perlu ada sebuah survey atau penelitian lebih lanjut).
Juga digitalisasi Kitab kuning yang ditampilkan dalam situs/portal internet milik NU Pengurus Cabang Istimewa Jepang (www.nunihon.com) adalah salah satu jawaban bahwa warisan karya para ulama-ulama pengarang (mushonnifun mukhlishun) masih tetap menjadi primadona di kalangan Pesantren yang sering diidentikkan dengan Kaum Sarungan.
Proses digitalisasi (apakah dengan mengetik ulang atau men-scan teks menggunakan scanner yang bisa mengenali huruf Arab) tersebut yaitu mer­ubah bentuk material/isi kitab kuning yang tercetak dalam lembaran-lembaran kertas yang berjilid-jilid dan memenuhi ratusan rak buku ke dalam bentuk digital yang cukup disimpan dalam sekeping DVD (berkapasitas kurang lebih 5 GB) dan bisa digenggam/dibaca dimanapun dan kapanpun melalui Laptop, PC maupun alat pembaca teks yang lain seperti mp4 player, ipod dan lain-lain. Pokoke kitab kuning sudah menjelma menjadi e-book atau digital book.
Hadirnya situs tersebut memberi nuansa baru bagi pembaca kitab kuning. Kitab kuning memasuki dunia cyber. Dengan demikian berbagai kitab yang disajikan mulai dari Ulumul Qur’an, ilmu tafsir, musthalah hadists, fikih, tasawuf bisa dibuka siapa saja bahkan bisa dibedol (download) secara gratis. Siapapun yang ingin membaca kitab tertentu tinggal membuka situs ini, tidak harus meminjam di perpustakaan, di pesantren atau pada kiai tertentu.
Sah-sah saja dikatakan usang tetapi kitab kuning sangat penting, secara historis kitab kuning adalah mata rantai perkem­bang­an ilmu pengetahuan, yang merupakan ben­tuk interpretasi, kontekstualisasi ajaran Islam yang termaktub dalam Al Quran dan Sunnah, yang dilakukan oleh ulama sepan­jang abad dan di seluruh belahan dunia Islam tak terkecuali Nusantara. Karena itu da­lam ukuran NU seseorang tidak mungkin men­dapat gelar ulama atau kiai tanpa me­nguasai kitab dasar tersebut yang sering dise­but kutubul muktabarah (kitab yang otori­tatif), buku wajib bagi santri dan ulama pesantren.
Memang beberapa tahun lalu muncul gugatan terhadap status kemuktabarahan kitab kuning, karena dianggap menutup akses terhadap kitab modern. Itu tidak benar, kitab kuning merupakan kitab pokok yang harus dikuasasi, baru setelah itu boleh menguasai kitab putih sebagai kitab anjuran. Kalau di kampus boleh menetapkan buku wajib dan buku penunjang, kenapa dalam khazanah pesantren tidak boleh membuat kategori tersebut.
Kitab-kitab babon Imam Al Asy’ari seperti Al Ibanah, Al Luma, juga Maqalatul Islamiyin mesti dimasukkan, juga karya Asyariyah yang lain seperti Al Farqu Bainal Firaq maupun Kitab tauhidnya Al Mathuridi, termasuk karya Imam Hanafi Fiqhul Akbar, juga karya perbandingan agama Al Milal Wannihal karya Syahrastani dan sebagainya. Selain itu situs itu juga hanya menyajikan kitab yang dikarang oleh ulama Timur Tengah, sementara kalangan ulama Jawi (Nusantara) belum dimasukkan, seperti kitab Sabilul Muhtadin karya Syek Irsyad Al Banjari, Sirajut Tholibin dan Manahijul Imdad karya Kiai Ihsan Jampes Kediri dan Hidayatussalikin karya Syekh Abdushomad Al Palimbangi, juga karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Begitu pula disiplin ilmu faraid, ilmu falak termasuk ilmu kedokteran, sastra dan bahasa. Semua khazanah itu perlu diper­kenal­kan bertahap secara utuh.
Sajian tersebut juga bisa dilanjutkan pada kitab ulama yang datang kemudian, seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Mustofa juga beberapa ulama di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Kitab tersebut merupakan kitab yang hidup dalam arti terus dikaji dan dijadikan pedoman dalam beragama oleh masyarakat. Kitab tersebut tidak hanya memberikan kedalaman dalam beragama, tetapi juga memberikan keluasan dalam memandang kehidupan dan ketinggian moral.
Proyek digitalisasi kitab kuning adalah proyek besar yang membutuhkan skill, kepandaian di bidang IT, ketekunan, kesa­bar­an dan keikhlasan luar biasa, namun itu hanyalah langkah awal dari mega proyek yang lebih prestisius yakni bagaimana kita mam­pu menghasilkan sebuah karya pe­mikiran orisinil sekelas karya ulama salaf. Dan lebih daripada itu adalah revitalisasi isi kandungan kitab kuning dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Pada tataran realita ulama salafus sholih baik dari Timur Tengah maupun Nu­san­tara masih jauh lebih baik dari kita, me­reka telah menghasilkan ribuah jilid karya-karya berbagai fan ilmu pengetahuan.
Sementara kita?? Belum ada apa-apanya. Namun demikian kaum Santri seba­gai sayap intelektual Pesantren jangan pesi­mis, kita masih mempunyai spirit untuk bisa tampil dan peradaban Islam akan berkem­bang dengan cepat dengan syarat seperti yang diajukan oleh Dr. Hasan Hanafi (Guru Besar Filsafat Universitas Kairo) yaitu memperjelas posisi kita (baca:umat Islam) dari proses sejarah dan memperjelas posisi kita sekarang. Wallahu a’lam bisshowab.

Penulis adalah Staf Kantor Departemen Agama Kab. Bojonegoro
Alumnus PP. Attanwir Sumberrejo Bojonegoro
dan Penggiat Komunitas Sandal Jepit ’Babus Shofa’ Bojonegoro





BIOGRAFI

Nama : FAHRUR ROZI, S.Ag
Tempat/Tgl Lahir : Bojonegoro, 4 Desember 1976
Alamat : Jl. Brigen. Sutoyo Gg. Amal No. 29 Sukorejo Bojonegoro
No. Telp/HP : 0353-892167/08155168353
Pekerjaan : Staf Umum Kandepag Kab. Bojonegoro

Tidak ada komentar: